About Me

Foto Saya
Fatahimdul
Istanbul, Istanbul, Türkiye
Manusia Biasa Yang ingin menjadi seseorang yang berguna bagi Umat dan Agama
Lihat profil lengkapku
Rabu, 12 Oktober 2011

MIGAS Indonesia Bermasalah

Dengan mengikuti perkembangan MIGAS INDONESIA dari tahun ketahun saya sedikit dan bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi dengan MIGAS INDONESIA.
Minyak dan Gas bumi di Indonesia tidak bisa di pungkiri adalah sebuah sumber pendapatan devisa bagi negara yang saya perkirakan cadangan gas buminya (TSCF) mencapai 157.14 TSCF Kendati menjadi sumber devisa negara, pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia masih sarat masalah dan kurang dan tidak adanya pengembangan teknologi dari Teknologi Perminyakan dan Gas bumi ini. Tumpang tindih wewenang dan adanya upaya pengerdilan Pertamina serta lemahnya posisi tawar pemerintah, menjadikan migas Indonesia hanya indah secara nama tanpa bisa memberikan manfaat besar bagi rakyat.
Ekonom dari Econit, Hendri Saparini, ketika berbicara pada seminar bertajuk Eksistensi Kelembagaan dalam Pengelolaan Migas di Jakarta, Rabu (21/7), mengatakan tumpang tindih wewenang dan pembagian regulasi yang kurang tepat itu membuat badan-badan pengelola migas tak efisien dalam bekerja.
Menurut Hendri, selain tumpang tindih wewenang, yang membuat  pengelolaan migas buruk adalah adanya upaya pengerdilan Pertamina. Pengerdilan BUMN itu, katanya, terjadi karena pemerintah tak punya kekuasaan dalam menentukan pengelolaan migas akibat bergantung pada kontraktor.
“Seharusnya pemerintah bisa bersikap tegas dalam menentukan pengelolaan migas jangan sampai dikendalikan oleh kontraktor. Pertamina juga harus didukung dari segi keuangan dan teknologi agar bisa maju seperti Petronas,” tegasnya.

jika eksistensi Pertamina semakin  dikerdilkan, maka eksistensinya hanya akan semakin merosot sehingga mempengaruhi pengelolaan migas tanah air. Dengan memberdayakan dan memperkuat badan pengelola migas domestik maka Indonesia akan bisa mengelola migas dengan baik dan hasilnya akan bisa dirasakan oleh rakyat. Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI, Satya W Yudha, tumpang tindihnya birokrasi kewenangan terlihat dari masih adanya sebagian regulasi yang berada di BP Migas dan sebagian lainnya di Dirjen Migas

masalah yang timbul berkutnya adalah masalah NATUNA
sumber yang saya dapat dari radio nederland (belanda) dalam wawancara dan tulisan di sana mengatakan
bahwa : RI Tak Pernah Terima Hasil Minyak Natuna kalau orang sekarang sibuk membahas soal pengelolaan dan pembagian hasil dari Blok Cepu, bagaimana pengilangan minyak di Natuna? Selama duabelas tahun terakhir, Indonesia tak memperoleh sepeserpun hasil eksplorasi gas di kepulauan Natuna, Riau. Pemasukan yang diterima pemerintah hanyalah berasal dari pajak. Bagaimana ini bisa terjadi? bagaimana mungkin pemerintah hanya kebagian pajak saja kalau di katakan demikian hanya kebagian pajak ini sesuatu yang tidak masuk akal bahkan banyak kegelisahan -kegelisahan itu awalnya dilontarkan anggota DPR dari (kalau tidak salah ingat) yaitu fraksi Partai Amanat Nasional dan namanya kalau tidak salah Alvin Lie. Dalam rapat kerja dengan pemerintah tahun lalu, Alvin Lie mengungkapkan, sejak dua belas tahun terakhir, Indonesia tak memperoleh sepeserpun bagi hasil eksplorasi gas di Natuna, dari Exxon Mobil. ini membuktukan bahwa kekayaan kita di rampok

Alvin Lie: "Ternyata blok natuna penghasil gas di Indonesia sejak tahun 1994 dikelola Exxon dengan basic agreement seharusnya berakhir januari 2005. Dengan pola bagi hasil Indonesia 0 Exxon 100 %. Data ini sahih karena keluar dari mulut kepala BP Migas sendiri."

coba anda bayangkan pembagian hasil minyak NATUNA antara exxon dan indonesia
indonesia 0 dan exxon 100%, indonesia kebagian pajak saja

Informasi ini dibenarkan Kepala Badan Pengelola Minyak dan Gas Bumi, Kardaya Warnika. Ia menjelaskan, Blok Natuna sejak tahun 1980-an dikelola oleh perusahaan Esso yang kini berubah menjadi Exxon. Pada saat itu pemerintah masih mendapatkan hasil dari pengelolaan Blok Natuna. Tetapi sejak tahun 1994, Esso dan Pertamina mengubah kontrak dengan penguasaan sepenuhnya oleh Esso nama (sekarang exxon). Sementara pemerintah pusat hanya kebagian pajak saja.
saya mengutip omongan oak Kardaya Warnika bahwa dia mengatakan: "dari pembagian hasil itu indonesia tidak mendapatkan apa apa Lalu setelah itu kontrak itu disetujui dengan suatu kontrak yang diberi judul basic agreement. Antara pertaminan dengan Esso. ExxonMobil saat itu bernama Esso. Di dalam basic agreement itulah diatur pembagiannya. Apa yang saya baca dalam kontrak itu begitu. Kita hanya mendapatkan dari pajak. Tidak betul bahwa kondisi itu mulainya dari 2004 tapi dari tahun 1994. Pada waktu Basic Agreement ditandatangani. Jadi tidak betul split itu tahun 2004, tapi sejak tahun 1994."


Bagi hasil dengan Riau
Kalau Jakarta kebagian pajak, tidak demikian halnya dengan Riau. Pemerintah provinsi Riau, mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan ladang gas ini. Bagi hasil Exxon dengan pemerintah Riau ini baru berhenti saat kabupaten Natuna memilih masuk dalam provinsi baru Kepulauan Riau, yang terbentuk tahun lalu.

Juru bicara Pemerintah Provinsi Riau, Zulkarnaen: "Natuna juga dapat dana bagi hasil minyak di sana, atau gas di sana. (untuk natuna seberapa besar bagi hasilnya?) ya itu ..saya kurang anu..kalau angka tuh kurang hafal. Yang jelas kalo itu mengacu pada undang-undang itu pasti dapat pak. Pasti dapat. (Nah sejak tahun 2004, pemda Riau masih dapat bagi hasil dari Exxon?) masih, masih pak, masih. 2004, 2005 sekarang yang baru kita serahkan juga masih dapat dari dana bagi hasil minyak. Tapi kalau yang Natuna saya gak tau lagi pak. Karena sudah pisah sama kita."
massya ALLAH perkataan di atas sungguh menarik hati saya untuk membahas hal ini lebih jauh  
bagaimana nasib masyarakat di situ kesejahteraan mereka pasti juga dalam kendala 
dan pada perkataan di atas pak Zulkarnaen menambahkan, dana bagi hasil pengelolaan ladang gas Natuna baru bisa dinikmati sejak tahun 1999. Sebelum undang-undang otonomi daerah diberlakukan, pemprov Riau, kata Zulkarnaen hanya kebagian tak lebih dari satu persen( 1%)


Kontraknya sangat aneh
Sementara Pengamat Perminyakan Kurtubi menilai kontrak yang diberlakukan di ladang gas Natuna ini sangat aneh. Dalam sejarahnya, tidak pernah ada model macam itu dalam eksplorasi migas. Lazimnya, eksplorasi gas alam cair oleh kontraktor asing harus melalui bagi hasil dengan pemerintah. Biasanya pemerintah mendapat bagian 60 persen, sementara 40 persen menjadi hak kontraktor asing tapi dalam hal ini indonesia mendapatkan hasil dari pajak saja
bisa saya perkirakan tidak adanya bagi hasil 0 dan 100% untuk exxon

menurut pemahaman saya sendiri dalam hal migas tidak mungkin pemerintah hanya dapat pajak saja. yang ada contract production sharing di mana kontraktor itu mengeluarkan biaya untuk mencari dan memproduksikan gas, nanti setelah berproduksi biaya-biaya tersebut di cover dalam pola post recovery persisnya dibagi antara kontraktor dengan pemerintah. Nah aneh kalau pemerintah cuma dapat pajak saja.

mencoba mengingat ingatan saya di tahun 2008

saya juga masih ingat di PEKANBARU  Niat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberantas korupsi di sektor Minyak Bumi dan Gas (Migas), segera terealisasi, menyusul KPK bersama dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) terus memproses pembentukan Tim Teknis Pengelola Migas.
“KPK akan membidik dugaan kesalahan mekanisme dan penghitungan dalam produksi minyak dan gas atau lifting yang sudah terjual,” ujar Wakil Ketua Bidang Penindakan KPK Bibit Samad Riyanto dalam lokakarya antikorupsi bagi para jurnalis di Pekanbaru, Riau, Rabu (16/7). tapi ketika masalah terjadi di dalam KPK yg melibatkan bibit dan candra maka hal ini tidak saya dengar lagi ada apa di balik ini HANYA TUHAN YANG TAU 
trus baru baru ini Riau di kejutkan dengan Kelangkaan BBM terjadi di sejumlah Kabupaten di Provinsi Riau
premium sangat langkah di pekan baru ''kata salah satu teman saya di sana''
dan dalam hal ini pasti para pengecer bertindak sebagai raja para pengecer tidak segan-segann mematok harga selangit untuk meraup keuntungan lebih besar. Premium yang biasanya dijual RP4.500 perliter ditangan para pengecer harganya bisa melambung mencapai Rp20 ribu per liternya.
dan tidak salah lagi Pertamina langsung mengambil sikap Pertamina meminta maaf kepada masyarakat Riau yang mengalami kelangkaan BBM sejak empat hari terakhir. Penyebab keterlambatan pasokan akibat pengetatan quality control BBM jenis premium.

"Kami menyampaikan permohonan maaf kepada konsumen di Pekanbaru dan sekitarnya atas keterlambatan pasokan premium," ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Mochamad Harun lewat rilis yang diterima detikcom, Minggu (6/3/2011).
dan kabar terakhir per 18/3/2011 bahwa pertamina kalimantan membutuhkan minyak impor Sales Area Manager Pertamina Kalimantan Barat Ibnu Chouldum menyatakan, impor bahan bakar minyak (BBM) merupakan kebijakan pemerintah pusat, terkait masih kurangnya kuota BBM subsidi di provinsi itu.
"Kami tidak berwenang untuk melakukan kebijakan impor BBM karena kewenangan pemerintah pusat," kata Ibnu Choldum di Pontianak, Jumat (18/3/2011).
Ia menjelaskan, setiap tahun pihaknya selalu mengajukan penambahan kuota BBM subsidi untuk mengimbangi laju pertumbuhan kendaraan bermotor di Kalbar. "Tetapi kewenangan pusat untuk menentukan besaran kuota BBM di Kalbar," katanya.
Kuota BBM bersubsidi jenis premium di Provinsi Kalbar 2010 sekitar 385 ribu kiloliter/tahun atau naik lima persen pada 2011 menjadi sekitar 404 ribu kiloliter/tahun
hal ini sudah berlangsung terus menerus sampaidi kata maafpun sudah banyak di keluarkan dari hati masyarakat
kalau terus menerus minta maaf tapi terus saja mengulangi hal yang sama. sekian ...

fatah imdul umasugi

0 komentar: